my profile

Have Fun for you

Minggu, 24 Juli 2016



Tunangan Dadakan

            Tak..tak..tak..sruuutt..sreeengg..
            Wangi bawang goreng seketika memenuhi pantry,semua mata tertuju pada seorang cowok dibelakang meja dapur, cowok tampan dengan celemek menggantung indah di depan tubuhnya. Tidak ada ekspresi lain selain wajah serius tanpa senyum saat tanganya lincah memasukkan bahan makanan ke dalam wajan.
Semua orang didalam pantry tak lepas memandanginya, termasuk Miya, staf pelayan yang tidak pernah bosan melihat chef  sekaligus bosnya memasak. Gadis cantik itu selalu melongo melihat kecakapan dan kelincahan chefnya dalam memasak. bukan satu-satunya alasan miya terus memperhatikanya, ada satu alasan lagi, mungkin..miya sudah jatuh cinta kepada atasanya itu.
“bersihkan semuanya..!” perintah sang atasan, saat bos mencuci tangan dan mengelapnya. semua orang segera bergegas membereskan peralatan dan meja , sepertinya mereka para pelayan sedang tidak mood untuk di damprat atasanya. Sedangkan miya.. dia masih setia berdiri bersandar di pintu masuk pantry..
“hei..kamu..!” teriak cowok itu.
Semua mata beralih menatap sosok miya yang masih belum kembali ke alam sadarnya, miya melamun . lagi!
“miy..miya..sadar miy..!” seorang cewek berpakaian sama persis dengan miya, yang artinya dia juga bekerja disana mencubit lengan miya..,..
“aagghh..! apa sih Len..sakit tauk..!” cewek yang dipanggil lena itu sontak memainkan matanya , menunjukkan keberadaan bosnya.  Miya melirik ke arah mata lena menunjuk,seketika jantungnya terpompa hebat.. baru sadar, semua mata tertuju padanya. Terlebih mata tajam itu..mata chef, atasan sekaligus bosnya.
“kamu mau bekerja atau mau melamun!!” teriak sang bos, Miya terlonjak mendengar teriakan itu, tanganya seketika gemetar.
“ma..maaf chef!” ucapnya ..
“kamu teledor.. dan sebagai hukumanya kamu akan membersihkan seluruh pantry.. saya tidak mau tahu.. besok pagi besok harus bersih ..!” ucap sang bos dengan santainya, seperti tidak melihat wajah Miya yang berubah putus asa.
“baik..chef.!” jawab lia,
“yang lain boleh pulang..!” ucap sang bos sambil berlalu keluar pantry, melewati miya begitu saja tanpa menoleh sedikitpun.  Miya mengehela nafas putus asa mendengar itu, semua orang memandang miya dengan tatapan kasihan.
Satu persatu teman seperjuangan miya sudah meninggalkan kafe, Lena ingin membantu miya tapi sudah pasti dilarang oleh chef, akhirnya lena pulang duluan. dia akan membersihkan seluruh pantry yang ukuranya gak kebayang besarnya sendirian, malam-malam.
Miya memulai dengan mengumpulkan peralatan kotor , menaruhnya di wastafel. Membersihkan meja dapur dengan minyak dimana-mana, membuat miya harus memberikan sedikit deterjen dikain lapnya, menggosok-gosok sampai mengkilat dan tidak berbau. Terbayang wajah chefnya saat melihat dapurnya kotor, wajah arogan, penuh amarah, siap memakan miya hidup-hidup, miya bergidik ngeri membayangkanya.
Selesai dengan meja, miya kembali ke wastafel dan menyabuni satu-persatu peralatan kotor. Keringat mengucur pelan dipelipisnya.. nafasnya juga memburu karena kelelahan. Miya hampir berteriak saat menyadari sepasang tangan membilas piring yang disabunya tadi, miya memekik pelan saat tahu ternyata sepasang tangan itu milik chef, Wildan.
“kamu pikir saya genderuwo..” ucap wildan, seharusnya yang diucapkan wildan barusan lucu tapi  bukanya tertawa miya malah berkeringat dingin. Sebelumnya dia tidak pernah sedekat ini dengan wildan, sikapnya yang begitu arogan dan sombong membuat miya takut untuk berdekatan denganya. 
“apa ini terlalu melelahkan..!” tanya wildan usai melihat miya sudah kembali sadar,
“engg... tidak, sudah biasa..mungkin..” jawab miya sekenanya, penyakit lama. Selalu gugup dan kehabisan kata-kata dan hanya wildan yang bisa membuatnya seperti itu.
“apa saya terlalu sering menghukummu seperti ini..!”
“ah..yaa, hampir ..setiap hari..!” kata miya,
Memang, dihukum bersih-bersih seperti ini sudah menjadi rutinitas dan agenda miya,
“itu berarti, setiap hari kamu selalu melamun tentang saya..!”
Hahhh?maksudnya?darimana chef tahu?
Miya terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Dia terus menyabuni sisa piring yang masih ada di wastafel.. dan wildan membilasnya.
“saya penasaran, apa yang kamu pikirkan saat melamunkan saya...?”
Tentu saja semua, ketampananmu, keanggunanmu, tangan lincahmu diatas penggorengan,
Miya masih berdiam diri, tinggal satu piring lagi. Dan ini akan berakhir, miya ingin segera berlari keluar dari pantry sebelum dia kehabisan nafas.
“jawab saya..!” , ucapan wildan membuat miya terlonjak kaget, hampir saja piring ditanganya terlepas dari tanganya.
“sa..ya..saya tidak..melamunkan chef..!” jawab miya akhirnya, miya mengulurkan piring terakhir dan wildan membilasnya. ,iya bergeser sedikit menjauh dari wildan..
Wildan meletakkan piringnya di pengeringan, dia membalik badan dan menatap miya yang terlihat sangat gugup.

“saya tahu dari sini” wildan maju selangkah dan menunjuk mata miya, miya mengerjap kaget.. ..
“ kamu selalu menatap saya.. dan itu membuat saya Gila, miya..!”
Miya bergerak mundur, dia terlalu dekat .. sampai bisa mendengar deburan nafas wildan.
Gila..apa yang membuat gila?
“sebaiknya sekarang kamu pulang, sebelum saya menguncimu disini..!”
Perkataan wildan membuat miya tersentak, bergegas ia keluar dari pantry dan menuju ruang karyawan. Wildan memandang punggung miya yang meghilang dibalik pintu.. tubuhnya bersandar pada meja dapur, menenangkan hatinya yang tidak karuan.
“kamu benar-benar membuatku gila miya..!” gumamnya pelan, seakan tidak ingin ada seorangpun yang mendengarnya.
***
            Berkali-kali matanya bertemu pandang dengan miya saat dia menerima lembaran order dari tanganya, miya terus menunduk saat menyadarinya , bukankah miya selalu begitu!
“bacon...steak panggang, dan spageti..!” teriak wildan menyuarakan orderan yang baru sampai,
“baik chef..!” jawab para asisten chef yang sudah siap dengan celemek ditubuh mereka, miya berdiri disampignya membantu menyiapkan bahan untuk spageti, dan itu membuatnya sangat tidak berkonsentrasi.
“bisakah kamu menjauh dari saya..!” gerutu wildan pelan, dia ingin hanya miya yang mendengarnya.. miya hanya mengangguk dan bergeser , menjauh dari wildan.
            Pelanggan datang silih berganti, tidak ada sepinya.. semua pelayan dan chef juga kewalahan menghadapi pelanggan yang makin bertabah setiap harinya. Bahkan sampai hampir tutup, masih ada saja pelanggan yang datang..
“hari ini berjalan lancar, hampir tidak ada masalah..saya ucapkan terima kasih kepada kalian semua, kalian sudah bekerja keras,..!”
            Kalimat penutup wildan yang disambut tepukan tangan yang meriah, evaluasi berakhir dengan hal yang sama. Lagi-lagi miya mendapat hukuman, karena kesalahan yang sama. Berimajinasi ditengah evaluasi
“miya..gue pulang dulu ya, sorry gak bisa bantuin..tahu sendiri kan chef kayak gimana, geu lagi gak mood di skors besok..!” kata lena menepuk pelan pundak miya,
“iya..gak pa-pa kok, udah gih pulang sana.. sudah dijemput sama sang kekasih tuh..!” kata miya dengan menunjuk keluar kafe, dia tahu lena sudah ditunggu sejak tadi.
Lena tersenyum dan melambaikan tangan usai memeluk hangat sahabatnya itu, miya beranjak melangkah ke pantry.. begitu pintu terbuka, ia membuang nafas panjang.
“kotor banget nih dapur..!” katanya, sembari membereskan peralatan dapur yang kotor dan menaruhnya di wastafel .
            Usai menggosok meja keramik sampai mengkilat, mencuci semua peralatan kotor.. miya hendak mengambil kain pel untuk membersihkan lantai, sebelum sebuah tangan mencengkeram lembut lenganya. Miya sudah ingin berteriak.. pencuri, ini pasti pencuri..atau pemerkosa???
“cheff...!” pekik miya tertahan saat justru yang dilihatnya adalah wildan,
Wildan tidak berkata apa-apa, dia mengangkat pinggang miya dan mendudukkanya dimeja dapur, badanya yang menjulang tinggi .. tepat berhadapan dengan wajah miya. Miya gemetar tidak karuan, keringat dingin mengucur deras, membuatnya tidak nyaman sama sekali
“aku ingin menunggu, tapi sepertinya aku tidak ingin menunggu lagi... miya..!” perkataan wildan yang tiba-tiba dan menggantung menimbulkan banyak tanda tanya dibenak miya, apa chefnya itu baru kejedot pintu toilet
Wildan melepaskan genggaman tanganya, merogoh sesuatu dibalik saku jeansnya..
“oh tuhan..!indah sekali chef..” pekik miya saat melihat sebuah cincin yang sangat indah nan menawan berada didepan matanya, mata berlian cincin itu berkilau. Miya ingin sekali memegang cincin itu, tapi dia ragu..
Tanpa menunggu lama , wildan mengenggam telapak tangan kiri Miya dan memakaikan cincin itu dijari manis miya. Miya diam tak bergerak..  
apakah ini mimpi? Bukankah ini terlalu indah untuk sebuah mimpi?
“apa maksudnya chef..!” akhirnya pertanyaan itu keluar juga ,
“kamu membuatku tidak bisa berpikir dan aku merasa gila jika terus menundanya!” ,
“menunda apa?” miya tidak bisa berpikir jernih, terus dipandanginya cincin yang melingkar indah di jari manisnya.
“apa kamu akan terus membuatku tidak bisa bernafas miya, apa kamu masih belum mengerti juga..!??”
Miya menggeleng, semua hal ini terlalu cepat dan aneh. Bukankah kemarin dan tadi wildan masih sama, marah-marah dan menghukumnya.
“gue suka sama lo...!” kata wildan,
Miya sontak mengangkat wajahnya, dilihatnya mata wildan yang terus memandangnya. Mencari mungkin ada kebohongan atau becandaan disana..tapi nihil, wildan serius. Dan itu membuat miya semakin melemas.
“kita masih 23 tahun, gue rasa kita masih terlalu muda buat nikah, makanya  gue mau kita nunggu dulu,.. sebagai tanda keseriusan gue, dengan cincin ini sekarang lo sudah resmi jadi tunangan gue, dan selama cincin itu masih ada disana, jangan pernhberniat selingkuh dari gue..”
Benarkah? Apakah miya sudah mengatakan ‘iya’ untuk ini
“tapi aku belum mengatakan apa-apa,!!” gumam miya pelan, suaranya hampir menghilang.
“gue gak butuh jawaban lo.. karena gue udah tahu..!”
Miya benar-benar kehabisan kata-kata, wildan membuatnya skak mat dan mati kutu. Dia hanya terus berpikir..semua ini hanya mimpi, tapi mungkinkah mimpi seindah dan selama ini??,  ini bukan mimpi, ini nyata..cincin ini benar nyata, dan wildan yang berdiri didepanya adalah chef yang disukai dan disayanginya, chefnya yang sombong, angkuh dan arogan.
            Miya tersenyum dan mengangguk penuh arti, wildan tahu.. dan dia selalu tahu jika miya akan menerimanya. Tanpa menunggu lagi dipeluknya lah pelayan kafe yang selalu membuatnya kehabisan nafas itu..wajah polosnya selalu membayangi hari wildan mulai dari saat bertemu.








Mutiara tersembunyi

            “hahahha...!”
            “Bulan.. jangan lari-lari, nanti jatuh lho..”
Canda dan tawa berderai dimana-mana, kebahagiaan terlukis dengan keakraban yang makin hari makin terpupuk. Sudut bibir tertarik keatas menunjukkan deretan gigi yang tidak terlalu putih, bergerak kesana kemari tanpa rasa lelah.
“apa kamu tahu kenapa mereka bisa begitu bahagia?”
“engg... entahlah! Karena apa?”
“harusnya mereka merasa sedih karna kehilangan atau tidak tahu siapa orang tua mereka, tapi aku tidak pernah melihat kesedihn dalam diri mereka, yang ada hanya senyum, canda dan kebahagaan di setiap waktu.. tanpa sadar mereka sudah memiliki keluarga baru disini!”
“yah..! aku turut merasa bahagia menjadi bagian dari keluara ini!” ucapku
Aku tersenyum mendengarnya, meskipun aku masih tergolong baru menjadi bagian keluarga ini, namun suasana bahagia sudah menyelubungiku.
“kak Ali , ayo ajarin aku nendang sampe gol, dari kemarin aku selalu gak bisa-bisa!!” seorang bocah laki-laki menarik-narik kemejaku, aku harus ikut denganya sebelum dia mulai merobek kemejaku .
“ayo, oke-oke.. pelan-pelan ya!” tegurku,
Yang namanya bocah ya tetep bocah, di bilangin dia malah brutal..  satu bocah lagi sudah bertindak sebagai kiper, kedua tanganya terbuka lebar dengan kaki sedikit di tekuk, bah..lagaknya seperti kiper Timnas.
“perhatikan bolanya sebelum kamu menendang, dan juga jangan menggunakan kaki bagian depan.. kamu bisa saja cidera , jadi pakai kaki bagian dalam yang belakang..!”
Aku menunjuk kakiku sendiri, dan dia memperhatikan dengan seriusnya, dia mengangguk penuh antusias..
“kakak al, ayo cepet tendang bolanya...! aku keburu gosong nih..” si kiper berteriak dengan suara nyaringnya, aku menendang bola plastik itu dan...
“yeee...! huuuu...” kiper kecil itu meneriakiku penuh ejekan, pasalnya bolaku tidak sampai didepan gawang sudah berhenti bergerak. Dasar si bola plastik
Aku menutup wajahku, pura-pura kecewa...  Dinda tertawa terpingkal melihatku, aku sukses mempermalukan diriku sendiri.
“itu karna bolanya... bola itu tidak ada beban sama sekali, tertiup angin sedikit saja sudah terbang..!” elakku, aku kembali duduk di kursiku semula.. disamping Dinda yang belum juga berhenti tertawa .
“Dinda, nak Ali.. ayo makan siang dulu..”
Seorang perempuan paruh baya dengan jilbab hijau memanggilku dari dalam ruang makan, namaku Ali dan perempuan cantik yang duduk disampingku ini Dinda, di tempat ini banyak sekali perempuan cantik.
“iya bu..!” jawab dinda dan segera beranjak pergi, aku mengikuti di belakangnya.
Kedekatan antar anak dan bunda di sini, menyadarkanku bahwa kasih sayang bisa diberikan oleh siapa saja dan ke siapa saja, tidak peduli keluarga atau orang lain yang tidak dikenal sama sekali, kebanyakan penghuni panti asuhan ini adalah anak gelandangan yang sengaja di rawat , atau anak yang dibuang orangtuanya. Dunia memang sudah Gila, anak dibuang-buang, memangnya sampah yang bisa di daur ulang.
            Tak sadar sudah hampir seharian aku disini, bermain bersama anak-anak Malang yang terbuang dan kehilangan kasih sayang ini, makan bersama orang-orang yang sudah kuanggap sebagai keluarga keduaku, merajut mimpi dan menggapai asa.
“apa kau tidak bisa menginap saja! Ini sudah malam..!”
Dinda mengantarku sampai di mobilku, aku tersenyum tipis..
“sebenarnya ingin! Tapi kan ...akh! gak usah deh, aku pulang saja..!”
“udahlah gak usah sungkan! Kamu punya tempat khusus disini..karna keluargamu donatur utama panti asuhan kami!” Tutur Dinda dengan senyum serta wajah memohon, dengan sikapnya itu aku tidak bisa menolak lagi.
            Dinda pergi untuk melihat anak-anak asuhnya, hari sudah mala dan harusnya mereka sudah tidur, tapi kenapa Dinda belum kembali juga. Aku duduk dengan risau diatas tempat tidur, hanya kasur tanpa bantal dan selimut.
Tok..tok..tok
Itu pasti Dinda, aku segera berderap membuka pintu, dan benar saja..Dinda muncul dengan sebuah bantal dan sebuah selimut ditanganya.
“kau pasti sudah sangat mengantuk! Maaf ya..” ucapnya dan langsung menerobos ke dalam, aku sedikit tercengang.. Dinda sangat berani rupanya.
“okay, selesai...! selamat tidur” ucapnya usai melempar bantal dan selimut ke atas kasur. Aku mengangguk padanya.. dan dia akan beranjak keluar,  tepat sebelum aku menahan lenganya.
“terima kasih ..!” kataku pelan. Dinda hanya tersenyum dan melepaskan diri dariku, sebelum pergi aku sempat melihat kedua pipinya memerah . entah kenapa justru aku malah senang membuatnya malu.
            Aku mengenal panti asuhan ‘Muara Bunda’ ini dari orangtuaku, papa dan mamaku selalu mengajarkankku sejak kecil untuk berbagi , keluargaku mulai dari kakek buyut sampai papaku menjadi donatur tetap dan yang terbesar untuk Panti Asuhan ini, mungkin ini salah satu alasan aku mendapat banyak keistimewaan disini.
Dinda salah satu keistimewaan itu, mungkin dia tidak tahu atau bahkan tidak sadar, namun sejak pertama kali aku berkunjung ke panti dan bertemu denganya, aku sudah merasakan debaran aneh, dan saat itu juga aku tahu , dia telah membuatku jatuh cinta.Aku rasa Dinda begitu bodoh untuk mengerti dirinya sendiri.
            Beberapa puluh menit berlalu sia-sia, mataku belum terpejam juga.. harusnya aku bisa dengan mudah tidur, kasur dan selimut ini sangat nyaman.. yang membuatku tidak bisa tidur adalah sepucuk surat, diatas sobekan kertas yang datang bersama selimut dan bantal tadi.
Aku tahu ini salah! Bahkan sangat salah.. tapi maaf, aku tidak pernah bisa menekan dan mengubur rasa ini begitu saja. Rasa yang salah ini berkembang begitu cepta disetiap tarikan nafasku, aku hanya bisa mengatakan maaf untuk ini. Aku rasa, aku mulai menyayangimu Al, kamu gak usah bilang apa-apa, secepatnya aku akan membuang perasaan ini, karna aku tahu aku sangatlah tidak pantas untukmu!
Dinda*
Dinda salah satu keistimewaan yang diberikan panti asuhan ini, mungkin dia tidak tahu atau bahkan tidak sadar, namun sejak pertama kali aku berkunjung ke panti dan bertemu denganya, aku sudah merasakan debaran aneh, dan saat itu juga aku tahu , dia telah membuatku jatuh cinta.Aku rasa Dinda begitu bodoh untuk mengerti dirinya sendiri.



Dibawah tekanan

            Citra bukanlah gadis yang cantik, dia tidak mengerti cara berpakaian, norak, sederhana bahkan sangat sederhana. Keluarganya bukan orang yang berada, tapi lumayan berkecukupan. Kedua kakaknya menjadi abdi Negara sudah beberapa tahun silam,
Citra orang yang selalu berusaha ceria, meskipun sebenarnya ia memiliki masalah yang besar dibalik keceriaanya,  ia bukan gadis yang mudah menjadi sorotan public, sudah kubilang dia tidak terlalu cantik untuk dilihat orang.
            Kini ia duduk dibangku kelas 3 SMA, sekolah yang ia masuki merupakan sekolah negeri satu-satunya dikota kecamatanya, biayanya pasti mahal, bahkan mengalahkan sekolah negeri di kota, tidak seperti tangan yang selalu terbuka, kadang kala citra juga harus menunggak biaya sekolahnya karena kakaknya telat mengiriminya uang. 

Namun, meskipun biaya sekolah yang terbilang mahal dan sulit di jangkaunya, citra tidak pernah mengeluh dan putus asa, kedua orang tuanya selalu memberikan motivasi yang Cuma-Cuma untuknya,
pokoknya.. citra tidak boleh seperti bapak sama ibu, citra harus jadi orang sukses nanti..
begitu mengingat petuah itu , sulutan api mulai membara lagi..
**
            Tinggal menunggu hitungan hari, sebentar lagi citra akan keluar dari bangku sekolah, ia sudah merencanakan masa depanya jauh-jauh hari, masuk PTN favorit pilihanya, mendapat beasiswa, tercatat menjadi mahasiswi terbaik, lulus kuliah mendapat pekerjaan yang layak, menikah, dan kehidupanya akan jauh lebih baik. Tapi jangan lupa, itu hanya rencana, jalan sesungguhnya tidak semulus jalan tol, selalu ada kemacetan dimana-mana ketika hendak ke pusat kota.
            Huru hara pendaftaran kuliah sudah dimulai, jalur undangan, tes, mandiri , bidik misi berbagai macam jalan tersedia, citra tidak lolos jalur undangan nilainya dikelas X belum cukup untuk menembusnya, ia memutuskan untuk melalui jalur tes, dengan biaya dua ratus ribu rupiah, nilai uang yang cukup tinggi untuknya.
            Satu hari citra berpikir kembali mengenai biaya pendaftaran yang cukup mahal, ia tidak mungkin terus-terusan meminta uang kepada orang tuanya, ibunya yang hanya membuka toko , bapaknya yang hanya seorang petani biasa, sawah yang tidak terlalu luas, panen yang selalu buntung.
            Citra menelan ludah melihat kondisi keluarganya, satu-satunya jalan hanyalah kedua kakaknya… ia berpikir kembali , “kakak” apa akan selalu seperti ini, bertahun-tahun ia menggantungkan biaya sekolahnya kepada mereka, belum cukupkah menyusahkan mereka?
Dua minggu sebelum pendaftaran dibuka citra bermain kerumah kakak saudara didekat rumahnya, disana ia mendapat ultimatum, teguran dengan berbagai macam pendapat yang membuatnya berpikir ulang kembali
“kamu ngotot pingin kuliah, bisa.. kakakmu bisa membantu, sebualan dua bulan, belum tentu 3  bulan kedepan, kakakmu yang satu sudah berkeluarga, dia juga harus mengurus keluarganya bukan hanya kamu, yang satunya sibuk dengan hidupnya, cobalah dipikirkan lagi,  biaya kuliah itu mahal, lihat mas huda  dia bisa kuliah sampai semester 5, tapi ia behenti kuliah untuk mencari kerja guna membiayai skripsinya, .. kuliah bukan jalan satu-satunya, coba dipikirkan lagi ya..!”
            Citra menundukkan kepalanya, terasa berat jika dia terus menyangganya. Ia berjalan dengan gontai pulang kembali kerumahnya… dia tersenyum miris melihat ibunya yang terlelap dalam tidurnya, keriput diwajahnya tidak bisa disembunyikan lagi, airmatanya perlahan membasahi seragam sekolah yang dipakainya.
Tiba-tiba ia teringat akan impianya, ia berlari perlahan mengambil tumpukan Koran diwarung ibunya, ia membolak-balik Koran, mencari edisi hari minggu… ketika ia menemukanya buru-buru citra mencari tulisan SCRIPTS dibagian atasnya. Puisi, cerpen, esai memenuhi badan Koran… segera ia menggunting bagian bertulisakan dari redaksi yang berisi syarat dan alamat email bagi yang ingin mengirimkan sastranya.
            Citra merupakan gadis berjiwa sastra yang unggul, program bahasa nya disekolah semakin mempertajam pengetahuan dan keahlianya, entah sudah berapa ratus puisi dan berapa puluh cerpen yang ia tulis, tapi belum satupun pernah ia kirimkan ke media massa, walaupun sebenarnya ia sangat menginginkanya…
            Buru-buru citra dengan sigapnya mengetik beberapa cerpen yang dikiranya pantas dikirimkan ke Koran seperti impianya, ia sangat berharap karya sastranya bisa dimuat dikoran setiap edisi hari minggu tersebut, sekaligus ia juga berharap bisa menghasilkan uang segera dari sana untuk biaya daftar tes masuk kuliah.
**
“mas.. citra mau kuliah!”
“ya kalo kamu mau kuliah ya silahkan, tapi mas gak janji baka membiayai penuh.. kamu tahu sendiri kan kebutuhan mas dan rumah tangga mas juga banyak..!”
“bagus kalo citra mau kuliah, mas akan bantu sebisanya.. tapi gak banyak..!”
            Jawaban dari kedua kakaknya, semakin membuatnya terpuruk..
Beberapa hari sebelum pendaftaran dimulai, citra sedang menunggui warung ibunya, ibunya pergi kepasar untuk berbelanja, ada seorang wanita muda yang membeli beberapa makanan pokok di warungnya,
“sudah lulus sekolahnya cit?” Tanya orang itu dengan nada ramah
“insyaallah, tinggal menunggu pengumuman…!”jawab citra dengan ramah pula
“oh! Habis lulus mau kemana? Kerja?”
“insyaallah kerja sambil kuliah bu..!”
“kerja? Heh… mau kerja apa kamu, anak jelek kayak kamu bakal diterima kerja dimana?”
Citra tertegun mendengar penuturan ibu yang tidak berperasaan itu, ia memandang wajahnya dikaca milik ibunya, ia meraba wajahnya, menangis… jelek!
Aku memang jelek, mataku juling, badanku gendut, bekas luka diwajahku… aarrggghhh!!!!
            Citra terus memaki dirinya sendiri , tidak ada yang salah dengan omongan wanita tadi… ini membuatnya kembali berpikir lagi
Citra sudah cukup lelah “menegakkan benang basah” dalam kehidupanya, hidup dalam bayangan keluarganya yang sukses tidak cukup menyukseskan pikiranya….
Semakin ia tumbuh besar, semua orang disekitarnya selalu membandingkanya dengan saudara-saudaranya yang telah mengarungi perbatasan Negara, ia bangga tentu saja bangga… tapi rasa tertekan semakin besar andilnya..
            Berkali-kali ia memikirkan cita-cita dan keinginanya, apa aku salah ingin menjadi sukses , hanya karena aku jelek dan tidak sempurna. Tidak jarang juga citra iri melihat beberapa orang bisa meraih cita-cita mereka semudah memetik daun Kersen di depan rumah, tanpa memikirkan Uang, fisik dan omongan orang. Diantara tiga hal itu, Omongan orang adalah kendala Terbesar yang menghambat citra untuk melangkah ke depan.
            Malam hari, di hari yang sama.. citra kembali tidak bisa tidur, dirinya terpekur melamun.. langkah mana yang harus diambilnya?
**
3 hari sebelum pendaftaran , citra sudah tidak bisa berpikir lagi, ia membiarkan semuanya berlalu… tidak ada kuliah, tidak ada kerja…
sekedar berharap, ia berjalan dengan gontai menuju warnet yang dekat rumahnya… ia membuka e-mail miliknya… tidak ada senyum yang tersungging dari bibirnya semua lenyap, seakan tersiram air laut yang pasang.  
            Email pertama sampai dengan beberapa hanya email spam yang tidak penting, sampai tanganya berhenti di sebuah email dan matanya mendelik.. tubuhnya bergetar, bibirnya mengatup rapat.. klik 2 kali, dan arimatanya jatuh sudah.
“alhamdulilllah, ya allah terima kasih telah mengabulkan do’a hamba…!”
            Citra bersujud dan berteriak kegirangan didalam bilik miliknya, orang disekitarnya melihatnya dengan tatapan penuh pertanyaan, matanya berbinar ketika membaca email yang berisi naskah cerpen dan puisinya diterima semuanya… pihak redaksi juga senang bekerja sama denganya…
Akhirnya apa yang dicita-citakanya tewujudkan, ia percaya pembuktian itu masih jauh dibelakang, jalanya masih panjang.
            Pihak redaksi tersebut mentransfer uang seharga karyanya, dengan uang iu citra bisa membuktikan tidak selamanya ia bergantung kepada kedua kakaknya, orang tuanya… citra kembali meniti impianya, sebagian uang hasil pikiranya ia berikan kepada ibunya untuk menutupi kekurangan warung,  memang tidak seberapa.. tapi dengan uang itu, semangat juang citra tumbuh dan lebih membara lagi..
“bu..citra dapat uang untuk daftar Seleksi ujian masuk..!” kata citra dengan senyum sumringah, ibu citra yang mulai baya turut tersenyum bahagia. Wajahnya yang mulai keriput.. bergerak naik turun kala ia mengusap airmatanya.
            Dia tidak akan mendengarkan suara apapun dan siapapun, yang menjatuhkan Harga diri dan menurunkan semangatnya.. selagi apa yang ingin dicapainya bisa digapai, semua bentuk jalan akan dilaluinya.
Kini, ia pun semakin percaya kemacetan dijalan menuju ibukota akan terlerai seiring berjalannya kita, dunia pun ikut percaya… tidak selalu menegakkan benang basah, benang yang basah bisa juga digantung kan, mimpi yang sempurna.